Sabtu, 12 Februari 2011

Meluruskan sejarah Kapitan Ahmad `Pattimura' Lussy

Tokoh Muslim ini sebenarnya bernama Ahmad Lussy, tetapi dia lebih
dikenal dengan Thomas Mattulessy yang identik Kristen.


Inilah Salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minor atas
sejarah pejuang Muslim di Maluku dan/atau Indonesia umumnya.

Nunu oli
Nunu seli
Nunu karipatu
Patue karinunu

(Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar
dan setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan
menggantinya (demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa)
saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu
lain akan menggantinya).

Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan oleh Kapitan Ahmad
Lussy atau dikenal dengan sebutan Pattimura, pahlawan dari Maluku. Saat
itu, 16 Desember 1817, tali hukuman gantung telah terlilit di lehernya.
Dari ucapan-ucapannya, tampak bahwa Ahmad Lussy seorang patriot yang
berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut. Wataknya teguh, memiliki
kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Ahmad Lussy juga tampak
optimis.

Namun keberanian dan patriotisme Pattimura itu terdistorsi oleh
penulisan sejarah versi pemerintah. M Sapija, sejarawan yang pertama
kali menulis buku tentang Pattimura, mengartikan ucapan di ujung maut
itu dengan "Pattimura-Pattimura tua boleh dihancurkan, tetapi kelak
Pattimura-Pattimura muda akan bangkit". Namun menurut M Nour Tawainella,
juga seorang sejarawan, penafsiran Sapija itu tidak pas karena warna
tata bahasa Indonesianya terlalu modern dan berbeda dengan konteks
budaya zaman itu.

Di bagian lain, Sapija menafsirkan, "Selamat tinggal saudara-saudara",
atau "Selamat tinggal tuang-tuang". Inipun disanggah Tawainella. Sebab,
ucapan seperti itu bukanlah tipikal Pattimura yang patriotik dan optimis.

Puncak kontroversi tentang siapa Pattimura adalah penyebutan Ahmad Lussy
dengan nama Thomas Mattulessy, dari nama seorang Muslim menjadi seorang
Kristen. Hebatnya, masyarakat lebih percaya kepada predikat Kristen itu,
karena Maluku sering diidentikkan dengan Kristen.


Muslim Taat

Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy,
Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi
pemerintah). Ia bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu
diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan
Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku
disebut Kasimiliali.

Menurut sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara, Pattimura adalah seorang
Muslim yang taat. Selain keturunan bangsawan, ia juga seorang ulama.
Data sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu semua pemimpin perang di
kawasan Maluku adalah bangsawan atau ulama, atau keduanya.

Bandingkan dengan buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama
kali terbit. M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong
turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang
bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura
Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan
nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di
Seram Selatan".

Ada kejanggalan dalam keterangan di atas. Sapija tidak menyebut Sahulau
itu adalah kesultanan. Kemudian ada penipuan dengan menambahkan marga
Pattimura Mattulessy. Padahal di negeri Sahulau tidak ada marga
Pattimura atau Mattulessy. Di sana hanya ada marga Kasimiliali yang
leluhur mereka adalah Sultan Abdurrahman.

Jadi asal nama Pattimura dalam buku sejarah nasional adalah karangan
dari Sapija. Sedangkan Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu
Ahmad Lussy. Dan Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam
sejarah perjuangan rakyat Maluku.

Berbeda dengan Sapija, Mansyur Suryanegara berpendapat bahwa Pattimura
itu marga yang masih ada sampai sekarang. Dan semua orang yang bermarga
Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut
agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura.

Masih menurut Mansyur, mayoritas kerajaan-kerajaan di Maluku adalah
kerajaan Islam. Di antaranya adalah kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo.
Begitu banyaknya kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini
dengan Jaziratul Muluk (Negeri Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal
dengan Maluku.

Mansyur pun tidak sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini
diidentikkan dengan Kristen. Penulis buku Menemukan Sejarah (yang
menjadi best seller) ini mengatakan, "Kalau dibilang Ambon itu lebih
banyak Kristen, lihat saja dari udara (dari pesawat), banyak masjid atau
banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja."

Sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, dari sudut pandang
antropologi juga kurang meyakinkan. Misalnya dalam melukiskan proses
terjadi atau timbulnya seorang kapitan. Menurut Sapija, gelar kapitan
adalah pemberian Belanda. Padahal tidak.

Leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo
religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan
di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit
dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya
dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.

Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian
khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai
sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang,
maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin
yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses
turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun
secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau
kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan "kapitan" yang melekat pada
diri Pattimura itu bermula.


Perjuangan Kapitan Ahmad Lussy

Perlawanan rakyat Maluku terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda
disebabkan beberapa hal. Pertama, adanya kekhawatiran dan kecemasan
rakyat akan timbulnya kembali kekejaman pemerintah seperti yang pernah
dilakukan pada masa pemerintahan VOC (Verenigde Oost Indische
Compagnie). Kedua, Belanda menjalankan praktik-praktik lama yang
dijalankan VOC, yaitu monopoli perdagangan dan pelayaran Hongi.
Pelayaran Hongi adalah polisi laut yang membabat pertanian hasil bumi
yang tidak mau menjual kepada Belanda. Ketiga, rakyat dibebani berbagai
kewajiban berat, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan asin, dendeng,
dan kopi.

Akibat penderitaan itu maka rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata.
Pada tahun 1817, perlawanan itu dikomandani oleh Kapitan Ahmad Lussy.
Rakyat berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua. Bahkan residennya
yang bernama Van den Bergh terbunuh. Perlawanan meluas ke Ambon, Seram,
dan tempat-tempat lainnya.

Perlawanan rakyat di bawah komando Kapitan Ahmad Lussy itu terekam dalam
tradisi lisan Maluku yang dikenal dengan petatah-petitih. Tradisi lisan
ini justru lebih bisa dipertanggung jawabkan daripada data tertulis dari
Belanda yang cenderung menyudutkan pahlawan Indonesia. Di antara
petatah-petitih itu adalah sebagai berikut:

Yami Patasiwa
Yami Patalima
Yami Yama'a Kapitan Mat Lussy
Matulu lalau hato Sapambuine
Ma Parang kua Kompania
Yami yama'a Kapitan Mat Lussy
Isa Nusa messe
Hario,
Hario,
Manu rusi'a yare uleu uleu `o
Manu yasamma yare uleu-uleu `o
Talano utala yare uleu-uleu `o
Melano lette tuttua murine
Yami malawan sua mena miyo
Yami malawan sua muri neyo
(Kami Patasiwa
Kami Patalima
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Semua turun ke kota Saparua
Berperang dengan Kompeni Belanda
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Menjaga dan mempertahankan
Semua pulau-pulau ini
Tapi pemimpin sudah dibawa ditangkap
Mari pulang semua
Ke kampung halaman masing-masing
Burung-burung garuda (laskar-laskar Hualoy)
Sudah pulang-sudah pulang
Burung-burung talang (laskar-laskar sekutu pulau-pulau)
Sudah pulang-sudah pulang
Ke kampung halaman mereka
Di balik Nunusaku
Kami sudah perang dengan Belanda
Mengepung mereka dari depan
Mengepung mereka dari belakang
Kami sudah perang dengan Belanda
Memukul mereka dari depan
Memukul mereka dari belakang)


Berulangkali Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan
rakyat Maluku, tetapi berulangkali pula Belanda mendapat pukulan berat.
Karena itu Belanda meminta bantuan dari pasukan yang ada di Jakarta.
Keadaan jadi berbalik, Belanda semakin kuat dan perlawanan rakyat Maluku
terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy dan kawan-kawan tertangkap Belanda. Pada
tanggal 16 Desember 1817 Ahmad Lussy beserta kawan-kawannya menjalani
hukuman mati di tiang gantungan.

Nama Pattimura sampai saat ini tetap harum. Namun nama Thomas Mattulessy
lebih dikenal daripada Ahmad Lussy atau Mat Lussy. Menurut Mansyur
Suryanegara, memang ada upaya-upaya deislamisasi dalam penulisan
sejarah. Ini mirip dengan apa yang terjadi terhadap Wong Fei Hung di
Cina. Pemerintah nasionalis-komunis Cina berusaha menutupi keislaman
Wong Fei Hung, seorang Muslim yang penuh izzah (harga diri) sehingga
tidak menerima hinaan dari orang Barat. Dalam film Once Upon A Time in
China, tokoh kharismatik ini diperankan aktor ternama Jet Li.

Dalam sejarah Indonesia, Sisingamangaraja yang orang Batak, sebenarnya
juga seorang Muslim karena selalu mengibarkan bendera merah putih.
Begitu pula Pattimura.

Ada apa dengan bendera merah putih? Mansyur merujuk pada hadits Imam
Muslim dalam Kitab Al-Fitan Jilid X, halaman 340 dari Hamisy Qastalani.
Di situ tertulis, Imam Muslim berkata: Zuhair bin Harb bercerita
kepadaku, demikian juga Ishaq bin Ibrahim, Muhammad bin Mutsanna dan
Ibnu Basyyar. Ishaq bercerita kepada kami. Orang-orang lain berkata:
Mu'adz bin Hisyam bercerita kepada kami, ayah saya bercerita kepadaku,
dari Qatadah dari Abu Qalabah, dari Abu Asma' Ar-Rahabiy, dari Tsauban,
Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah memperlihatkan kepadaku bumi,
timur dan baratnya. Dan Allah melimpahkan dua perbendaharaan kepadaku,
yaitu merah dan putih".

Demikianlah pelurusan sejarah Pattimura yang sebenarnya bernama Kapitan
Ahmad Lussy atau Mat Lussy. Wallahu A'lam Bish Shawab.* (dari berbagai
sumber)

http://swaramuslim.net/more.php?id=535_0_1_18_M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar