Sabtu, 12 Februari 2011

Konsepsi Islam Tentang Negara

Beberapa tahun lalu seorang kyai yang pernah diangkat dan diturunkan
dari jabatan presiden di republik ini pernah mengatakan bahwa
kepemimpinan Rasulullah saw bukanlah wujud dari suatu negara.
Kepemimpinan beliau saw di Madinah itu cuma sekedar ketua RT atau paling
banter ketua RW, tegas kyai yang cuma sekitar setahun menjadi orang
nomor satu di negeri ini.

Benarkah persepsi kyai yang sangat gencar mempropagandakan demokrasi
itu? Tentu tidak benar. Sebab, bagaimana mungkin kepemimpinan Rasulullah
saw dikatakan sekedar tingkat RT/RW, sementara fakta sejarah menunjukkan
bahwa ketika tentara Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw
menaklukkan kota Mekkah, jumlahnya sekitar 10.000 orang (lihat Azyumardi
Azra, Suplemen Ensiklopedi Islam hal 106).

Demikian juga tatkala Rasulullah saw memimpin tentara Madinah ke Tabuk
dalam rangka memerangi tentara imperium Rumawi yang ada di sana, jumlah
tentara yang beliau saw bawa adalah sekitar 30.000 orang (lihat Ibnu
Katsir, Al Bidayah wan Nihayah Juz 3 hal 593). Tentu tidak ada RT/RW
yang memiliki tentara sebanyak itu. Sejarah pun menunjukkan bahwa
Rasulullah saw. mengangkat wali atau gubernur di Yaman, wali Madinah,
wali Makkah, wali Bahrain. Rasulullah saw mengangkat sejumlah
hakim/qadli di sejumlah kota atau daerah untuk mengadili perkara-perkara
yang terjadi di masyarakat. Rasulullah saw pun mengrim surat-surat
politik kepada sejumlah kepala negara besar maupun kecil untuk masuk
Islam dan bergabung di bawah naungan daulah Islamiyah. Artinya, fakta
sejarah menunjukkan bahwa kepemimpinan Rasulullah saw itu adalah
kepemimpinan level negara.

Sekedar sebagai perbandingan, negara Madinah pada saat Rasulullah saw
wafat telah meliputi seluruh wilayah jazirah Arab yang kini meliputi
kurang lebih 7 negara (Arab Saudi, Yaman Utara/Selatan, Uni Emirat Arab,
Qatar, Oman, Bahrain). Ini 4 kali luasan gabungan negara Perancis dan
Jerman. Nyatalah, tidak ada alasan mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak
membangun negara, Islam tidak memiliki konsepsi tentang kenegaraan,
Islam hanyalah pesan moral yang tidak pernah memerintahkan pendirian
negara, nabi hanya diutus menyempurnakan kemuliaan akhlak tidak ada
sangkut pautnya dengan penegakan negara, agama Islam hanyalah urusan
pribadi dengan Tuhan yang bersifat sakral dan jangan dicampur dengan
urusan politik kenegaraan yang bersifat profan, dan lain-lain yang
merupakan refleksi dari kebodohan dan sikap menutup diri dari informasi
yang benar tentang Islam.

Bagaimana sesungguhnya konsepsi tentang negara dan negara Islam,
betulkah negara merupakan bagian dari syariat Islam, lalu bagaimana
bentuk pemerintahan dalam syariat Islam, apakah ada hubungannya dengan
negara theokrasi dan negara otoriter, ataukah dia sebuah negara republik
yang demokratis? Tulisan ini mencoba mengurainya.

Keberadaan Negara, Sebuah Keniscyaan

Apa sih negara itu? Banyak definisi diberikan orang. Miriyam Budiharjo
dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik mengutip sejumlah rumusan para
sarjana Barat tentang negara.

1. Roger H. Soltau: "Negara adalah alat (agency) atau wewenang
(authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan
bersama, atas nama masyarakat" (The state is agency or authority
managing and controlling these (common) affairs on behalf of and in the
name of the community).

2. Harold J. Laski: "Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan
karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah
lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari
masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan
bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka
bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati
baik oleh individu-individu maupun asosiasi-asosiasi ditentukan oleh
suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat". (The state is
society which is integrated by possessing a coercive authority legally
supreme over any individual or group which is part of the society. A
society is e a group of human beings living together and working
together for the satisfactions of their mutual wants. Such a society is
a state when the way of life to which both inviduals and associations
must conform is difined by coercive authority binding upon them all).

3. Max Weber: "Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli
dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah" (The
state is human society that (successfully) claims the monopoly of the
legitimate use of physical force within a given territory).

4. Rober M. MacIver: "Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan
penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan
berdasarkan system hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang
untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa" (The state is an
association which, acting through law as promulgated by a government
endowed to this end with coercive power, maintains within a community
territorially demarcated the external conditions of order).

Dari rumusan-rumusan di atas, Miriam Budiarjo membuat definisi umum
tentang negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah
(governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga
negaranya ketaatan pada peraturan perundanganya melalui penguasaan
(kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.

Selanjutnya Budiarjo menerangkan adanya sifat-sifat khusus sebagai
manifestasi dari kedaulatan yang dimiliki negara, yaitu: (1) sifat
memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasaan fisik
secara legal dengan menggunakan tentara dan polisi agar peraturan
perundangan ditaati dan mencegah timbulnya anarkisme. (2) Sifat
monopoli, dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Dalam rangka
ini negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan atau politik
tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan. (3) Sifat mencakup semua,
artinya semua peraturan perundangan berlaku untuk semua orang tanpa kecuali.
Budiarjo juga menjelaskan bahwa negara itu mempunyai unsur-unsur sebagai
berikut:

1. Wilayah, luasan tertentu tempat hidup warga negara dimana kekuasaan
berlaku dengan batas wilayah tertentu yang besar kecilnya bersifat relatif.

2. Penduduk, orang-orang yang tinggal dalam wilayah negara dimana
kekuasaan negara menjangkau mereka, jumlahnya bersifat relatif.

3. Pemerintah, organisasi negara yang berwenang untuk merumuskan dan
melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk di
dalam wilayahnya.(4). Kedaulatan, kekuasaan yang tertinggi untuk membuat
undang-undang dan melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan)
yang tersedia.

Dan fungsi minimum suatu negara, papun ideologinya, menurut Budiarjo adalah:

1. Melaksanakan penertiban (law an order); untuk mencapai tujuan bersama
dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat.

2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

3. Pertahanan; untuk menjaga kemungkinan serangan luar. Untuk ini negara
perlu dilengkapi dengan alat-alat pertanahan.

4. Menegakkan keadilan; hal ini dilaksanakan melalui badan pengadilan.

Dengan memahami definisi, sifat-sifat, unsur-unsur, dan fungsi-fungsi
negara di atas dapat kita sadari betapa keberadaan suatu negara bagi
masyarakat baik modern maupun primitif adalah suatu keniscayaan yang tak
perlu dipertanyakan lagi. Maka tidak heran kita melihat bahwa sepanjang
sejarah kemanusiaan ada negara dengan bentuk dan system pemerintahan
yang bermacam-macam sesuai dengan dengan pemahaman ideologi yang dianut
masyarakatnya. Ada negara kota Yunani, ada negara Kekaisaran Romawi, ada
negara Kisra Persia, ada negara Firaun, ada negara kerajaan Nabi Dawud
dan Nabi Sulaiman, ada negara Raja Najasyi, ada negara Islam yang
ditegakkan Nabi Muhammad saw yang dilanjutkan oleh para sahabat beliau
saw yang menggantikannya yang disebut negara khilafah ala minhajin
nubuwwah, ada negara monarki Inggris, Belanda, ada kekaisaran Jerman,
Perancis, Austria, dan Rusia, Kekaisaran Cina dan Jepang, ada negara
republik Perancis, Jerman, dan Amerika Serikat, dan lain-lain.

Di negeri kita ini ada negara Kutai, Mataram Hindu, Sriwijaya,
Singasari, Majapahit, Pajajaran, Demak, Pajang, Mataram Islam, Banten,
Goa, Ternate, Tidore, Aceh, pernah menjadi propinsi koloni Belanda,
Perancis (di masa Daendles), Inggris (di masa Raffles), dan Jepang,
serta menjadi republik Indonesia. Ya masyarakat manapun pasti memerlukan
negara.

Oleh karena itu, bagi masyarakat muslim kapan dan dimanapun, kecuali
segelintir orang yang telah kehilangan akar Islamnya melalui pendidikan
Barat, negara Islam (khilafah) itu adalah suatu keharusan (lihat Ismail
Ral Faruqi dan Louis Lamya Al Faruqi, Atlas Budaya Islam hal 191-192).
Persoalan yang lebih esensial bagi kita adalah pembahasan mengenai
hakikat dari suatu negara itu sendiri sehingga kita bisa memahami
bagaimana suatu negara itu ditegakkan oleh masyarakatnya dan bagaimana
suatu negara itu bisa roboh atau dirobohkan.

Syaikh Taqiyddin An Nabhani dalam kitab Muqaddimah Dustur (hal 5-11)
menulis bahwa munculnya suatu negara baru itu lantaran munculnya
pemikiran-pemikiran baru yang menjadi landasan berdirinya negara baru
tersebut dan terjadinya pergantian kekuasaan di dalamnya lantaran
pergantian pemikiran. Ini bisa terjadi karena pemikiran baru yang telah
mewujud menjadi pemahaman (mafahim) --setelah difahami kebenaran makna
yang dikandungnya--itu akan mempengaruhi tingkah laku manusia dan
menjadikan tingkah lakunya itu berjalan sesuai dengan mafahim yang
dianutnya itu.

Mafahim baru itu pun menjadikan pandangannya tentang hidup pun berubah,
dan pandangannya tentang kemaslahatan-kemaslahatan yang selalu dicarinya
pun berubah. Sementara itu kekuasaan itu pada hakikatnya adalah
pemiliharaan atas kemaslahatan-kemaslahatan dan kontrol atas jalannya
pemiliharaan tersebut.

Oleh karena itu, pandangan hidup merupakan asas tegaknya negara dan asas
adanya kekuasaan. Karena pandangan hidup itu sendiri dibentuk oleh
pemikiran tertentu tentang hidup maka pemikiran tertentu itulah pada
hakikatnya yang menjadi asas daulah dan dia pulalah sebenarnya asas
kekuasaan. Karena pemikiran tertentu itu mewakili kumpulan pemahaman
(mafahim), tolok ukur (maqayis), dan keyakinan (qona'ah) yang diadopsi
oleh masyarakat maka pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan itulah yang
dapat dianggap sebagai asas berdirinya negara dan kekuasaan hanyalah
memelihara urusan masyarakat dan mengontrol agar pengaturan pemenuhan
kemaslahatan manusia itu sesuai dengan kumpulan pemahaman, tolok ukur,
dan keyakinan tersebut. Dari sinilah negara dapat didefinisikan sebagai
badan eksekutif yang melaksanakan apa yang dikehendaki oleh kumpulan
pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan yang telah diterima oleh masyarakat.

Kumpulan pemahaman,tolok ukur, dan keyakinan itu ada yang dibangun dari
pemikiran yang paling mendasar (fikr asasi) dan ada juga yang dibangun
dari pemikiran yang bukan pemikiran paling mendasar. Jika kumpulan
pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan yang menjadi asas tegaknya negara
itu dibangun dari pemikiran yang paling mendasar (fikr asasi), maka
negara yang ditegakkan akan kokoh bangunannya, kuat pilarnya, dan stabil
strukturnya.

Sebab, negara tersebut disandarkan di atas pemikiran yang paling
mendasar, yang tidak ada yang lebih dasar lagi, yaitu aqidah aqliyah.
Dengan demikian negara yang kuat adalah yang ditegakkan di atas landasan
aqidah aqliyah. Namun apabila suatu negara tidak ditegakkan di atas
aqidah aqliyah, negara tersebut akan mudah dirobohkan dan dihancurkan
lembaganya serta mudah didongkel kekuasaannya. Jadi negara yang kuat
adalah negara yang dibangun di atas dasar aqidah aqliyah yang
menghasilkan pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan yang kuat pula.

Sebagai contoh, adalah negara Islam yang dibangun di masa Rasulullah saw
(abad ke 7 Masehi) yang telah terbukti mampu eksis selama 13 abad.
Negara itu baru runtuh pada tahun 1924 (abad 20 Masehi) setelah kaum
muslimin mengalami kemunduruan pemikiran terhadap kumpulan pemahaman
(mafahim), tolok ukur halal haram, dan keyakinan-keyakinan (qona'ah) Islam.

Pilihan bagi kaum muslimin yang tinggal di berbagai negara dengan basis
nasionalisme (nation state) dengan berbagai system dan bentuk negaranya:
tetap mengadopsi system negara bangsa (nation state) yang sangat lemah
ataukah berusaha kembali bersatu dalam satu payung negara khilafah yang
bersifat supranasional dan berbasis aqidah aqliyah Islamiyah?.

Tentu bagi yang mau berpikir jernih tidak ada pilihan kecuali memilih
pilihan kedua. Dan secara syar'i, setiap muslim terikat untuk pernah
berbaiat dalam pemilihan khalifah sebagaimana yang disebut dalam hadits
Nabi Muhammad saw. (lihat Ismail R Al Faruqi dan Louis Lamya Al Faruqi,
Atlas Budaya Islam, hal 192). Artinya, setiap muslim punya kewajiban
moral dan agama untuk senantiasa hidup di dalam naungan negara khilafah.
Diriwayatkan bahwa oleh Nafi' bahwa Umar bin Khaththab r.a. berkata
bahwa dia mendengan Rasulullah saw. bersabda:

"Siapa saja yang melepas tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya
ia akan berjumpa dengan Allah di hari kiyamat tanpa memiliki hujjah. Dan
siapa saja yang mati sedangkan di pundaknya tidak ada baiat, maka
matinya seperti mati jahiliyah".

Hadits tersebut tidak menunjukkan hukum bahwa setiap muslim harus
melakukan prosesi memberikan baiat kepada khalifah (bai'at In'iqad),
tapi dalam diri seorang muslim harus ada selalu ada bai'at (baiat
tho'ah) kepada seorang khalifah (lihat An Nabhani, Al Khilafah, terj.
Hal 3). Artinya, setiap saat dalam kehidupan seorang muslim, semestinya
ia menjadi warga negara Khilafah Islamiyah.

Negara bagian Dari Syariat Islam
Kalau kita lihat buku fiqih yang sederhana semacam Fiqih Islam karya
Sulaiman Rasyid (ditulis tahun 1938 dan diterbitkan pertama kali tahun
1954) kita akan menjumpai di bagian akhir buku adanya bab Al Khilafah
setelah pembahasan bab Toharoh, bab Sholat, bab Jenazah, bab Zakat, bab
Puasa, bab Haji dan Umrah, bab Muamalat, bab pembagian Harta Pusaka
(Faraidl), bab Nikah, bab sanksi hukum pidana (Jinayat dan Hudud), bab
Peperangan (jihad), bab Makanan dan Sembelihan, dan bab Pengadilan.

Sekalipun di sana sini banyak kekuarangan dalam pembahasan tentang
khilafah pada buku tersebut, namun maksud pencantuman bab al khilafah
tersebut di bagian akhir buku tersebut, sebagaimana dikatakan sendiri
oleh penulisnya adalah untuk sekadar menggambarkan bahwa seluruh hukum
Islam yang ada pada bab-bab sebelumnya itu akan berjalan lancar dan baik
dalam masyarakat andaikata negara itu berdasar kepada hukum-hukum Islam.

Masalah khilafah sebagai suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut
ajaran Islam, sebagaimana yang dibawa dan dijalankan Rasulullah saw. dan
kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakar As
Shiddiq r.a., Umar bin Khaththab r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali
bin Abi Thalib r.a.), kata Rasyid (hal 494), tak pernah lepas dari
beberapa hukum, terutama mengenai penyusunan negara, kepala negara,
pemilihan khalifah, hak memilih dan dipilih, dan sebagainya.

Kalau kita lihat kitab Fiqh yang lebih besar seperti Al Umm karya Imam
As Syafii r.a. (hidup di masa Khalifah Harun Ar Rasyid dan AL Makmun
dari khilafah dinasti Abbasiyyiah, wafat pada tahun 204H/820M, lihat
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Islam Jilid 4 hal 326), sekalipun tidak
membahas secara khusus bab Khilafah/Imamah, namun uraian rinci tentang
berbagai fiqh muamalat, jinayat, jihad, penaklukan dan perdamaian,
jizyah, penanganan kafir dzimmi (disamping uraian berbagai bidang
syariat Islam) tak bias melepaskan penyebutan Imam (khalifah) sebagai
subyek pelaksanaan hukum syariat Islam (lihat Imam As Syafii, Al-Umm,
Kitab Induk, terj. Jilid 6 hal 190, 266, 269, 317, 324, ).

Imam As Suyuthi malah secara khusus menulis tentang tarikh para khalifah
dari masa Khulafaur Rasyidin ( Abu Bakar Shiddiq r.a., Umar bin Al
Khaththab r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abi Thalid r.a.),
para khalifah di masa dinasti Umayyah (Muawiyah bin Abi sufyan r.a. s/d
Marwan bin Muhammad), dan para khalifah di masa dinasti Abbassiyyah (
Abul Abbas As Saffah s/d Al Mutawakkil Alallah) yaitu bentangan
kekuasaan negara khilafah dari diangkatnya khalifah pertama segera
setelah wafatnya Rasulullah saw. pada tahun 10H/634M sampai dengan 903H
dalam kitabnya yang terkenal Tarikhul Khulafa. Mouaffaq Bany Al Marjeh
dalam kitabnya Shofwatu Rajulil Maridl/The Awakening of the Sickman (hal
467-469) melengkapinya dengan daftar para khalifah dinasti Utsmaniyah
(dari Sultan Salim I yang berkuasa sejak tahun 1512M s/d Sultan Abdul
Majid Khan II yang diusir Musthafa Kamal pada tanggal 2 Maret 1924 ).

Dengan demikian jelaslah bahwa sepanjang sejarah peradaban umat Islam ,
mereka tidak lepas dari satu kesatuan umat dan negara yakni umat Islam
dan negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Umat ini mendapatkan pukulan
dan goncangan besar dengan dikalahkan negaranya pada Perang Dunia I oleh
pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Inggris. Umat yang kini terpecah belah
menjadi lebih dari 50 negara itu masih memiliki dokumen sejarah dan
dokumen hukum (berupa Al Quran, As Sunnah, dan Kitab-kitab Fiqih) yang
masih utuh yang menjadi bekal untuk menyusun doktrin peradabannya
kembali. Oleh karena itu, di era kebangkitan umat ini wajarlah kalau
umat Islam memiliki potensi untuk mengembalikan syariatnya dan negaranya.

Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nizhomul Hukmi fil Islam
(disempurnakan oleh Abdul Qodim Zallum) menguraikan secara jelas tentang
hukum-hukum syariat Islam dalam politik ketatanegaraan. Menurut An
Nabhani (terj.hal 9) negara Islam adalah seorang khalifah yang
menerapkan hukum syara'. Negara Islam merupakan kekuatan politik praktis
yang berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam,
serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia sebagai sebuah risalah
dengan dakwah dan jihad. Negara Islam inilah satu-satnya metode yang
dijadikan Islam untuk menerapkan system dan hukum-hukumnya secara
menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Tanpa adanya negara, eksistensi
Islam sebagai sebuah mabda (ideologi) serta system kehidupan akan pudar;
yang ada hanyalah Islam sebagai upacara ritual serta sifat-sifat akhlak
semata.

Negara Islam hanya berdiri di atas asas aqidah Islam. Menurut syari'at
Islam, dalam kondisi apapun aqidah Islam tidak boleh terlepas dari
negara. Rasulullah saw. Waktu membangun negara Islam pertama kali adalah
dengan menjadikan asas Lailahaillah Muhammad Rasulullah saw. sebagai
asas negara dan pemerintahannya, sebagai asas kehidupan bagi kaum
muslimin, dan sebagai ass dalam berhubungan dengan sesama manusia, asas
untuk mencegah tindak kezaliman, serta asas menyelesaikan persengketaan
yang terjadi di antara manusia. Menjaga keberlangsungan aqidah Islam
sebagai dasar negara merupakan fardlu atas kaum muslimin. Rasulullah
saw. memerintahkan kepada kaum muslimin mengangkat senjata apabila
tampak kekufuran yang nyata. Ketika Rasulullah saw. ditanya tentang
mengangkat senjata terhadap pemerintahan yang zalim, beliau saw. menjawab:

"Jangan, selama mereka menegakkan sholat (hukum Islam)".

Dalam pembaiatan khalifah, kaum muslimin juga tidak diperbolehkan
merebut dari tangan ulil Amri (khalifah) kecuali kalau mereka
menyaksikan kekufuran yang nyata. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ubadah
bin As Shamit tentang baiat:

"Dan agar kami tidak merampas urusan (kekuasaan) dari yang berhak,
Rasulullah saw. bersabda: Kecuali bila kalian menyaksikan kekufuran yang
nyata, sedangkan kalian memiliki bukti yang kuat di sisi Allah".

Dengan Demikian tidak diperkenankan kaum muslimin memiliki negara dengan
asas selain Islam, baik itu sekularisme, kapitalisme, demokrasi,
sosialisem, komunisme, nasionalisme, atau paham apapun yang bukan
merupakan aqidah aqliyah Islamiyah.

Khalifah yang dibaiat kaum muslimin sebagai kepala negara, wajib
menerapkan hukum syariat Islam. Sebab syariatlah yang memiliki
kedaulatan (As Siyadah Lis Syar'I). Syariat Islam yang merupakan
pancaran aqidah Islam telah menetapkan bahwa penguasa wajib menerapkan
hukum Allah SWT sebagai bukti ketaatan kepada Allah SWT yang telah
memerintahkan hal itu dalam firman-Nya:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan". (QS. An-Nisaa' [4]: 65)

Juga firman-Nya:

"Dan hendaklah kamu hukumi di antara mereka dengan Apa yang turunkan
kepadamu. Dan janganlah kalian mengikuti kemauan mereka. Hati-hatilah
terhadap mereka, agar mereka memalingkan kamu dari sebagian yang telah
diturunkan Allah kepadamu." (QS. Al-Maidah [5]: 49)

Dan rakyat yang mayoritas kaum muslimin yang memiliki mafahim Islam,
maqayis Islam, dan qana'ah Islam dituntut untuk ridlo dengan
undang-undang penerapan hukum Allah SWT. Sikap ridlo terhadap seluruh
konsitusi dan perundangan syariah ini diajarkan oleh Allah SWT dalam
firman-Nya:

"Dan apa saja yang dibawa oleh Rasul lakukanlah, se*dangkan yang
dilarangnya maka tinggalkanlah." (QS. Al-Hasyr [59]: 7)

Juga firman-Nya:

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min,apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al-Ahzab [33]: 36)

Dengan keimanan kepada aqidah dan syariah Islam, masyarakat muslim akan
membaiat seorang khalifah untuk mengatur urusan mereka dengan
menjalankan pemerintahan berdasarkan Al Quran dan As Sunnah dan mereka
dan khalifah diberi wewenang untuk mengundangkan hukum syariah yang
dibangun berdasarkan kedua sumber utama hukum syariah itu. Khalifah
tidak berhak mengadopsi hukum lain selain dari syariah yang diwariskan
oleh rasulullah saw. Adopsi khalifah ini juga sekaligus mengatasi
perbedaan dia antara para hakim dan penguasa di bawahnya dalam mengambil
kesimpulan hukum dalam rangka menyelesaikan perkara di antara warga
negara baik muslim maupun non muslim.

Negara Islam Bukan Theokrasi dan Bukan Otoriter
Ada kesalah pahaman sementara orang bahwa kalau kita menegakkan negara
Islam itu berarti negara theokrasi, padahal theokrasilah yang
menyebabkan kezaliman di Eropa pada abad pertengahan, bukankah kolusi
antara para uskup dan kardinal dengan para kaisar yang telah menimbulkan
berbagai penderitaan dan kesengsaraan bangsa Eropa? Menggeneralisir
Islam dengan agama Nasrani adalah sebuah kesalahan. Nasrani adalah agama
yang mengatur masalah ritual dan moral semata, masalah keakhiratan.
Islam mengatur masalah dunia akhirat, masalah ibadat dan akhlak, juga
masalah muamalah, social, hukum peradilan, ekonomi dan ketatanegaraan.

Negara theokrasi adalah sebuah konsep yang mengaku bahwa kedaulatan
berasal dari Tuhan, tapi hukum dibuat-buat oleh para agamawan dimana
para kaisar dan raja berlindung pada kekuasaan mereka.

Islam menjelaskan hukum untuk seluruh umat manusia, dan hukum berlaku
bagi seluruh umat manusia. Adapun kekuasaan menjalankan hukum adalah hak
seluruh umat yang diserahkan kepada khalifah yang akan menerapkan hukum
kepada seluruh umat. Dalam hal ini, khalifah bisa dan wajib dikoreksi
oleh umat dengan tolok ukur (maqayis) yang jelas, yakni halal haram.
Oleh karena itu, khalifah tidak punya hak prerogratif untuk melanggar
hukum Allah dan tidak punya secuail pun hak untuk membuat hukum sendiri
atas nama Allah SWT.

Khalifah hanyalah penguasa pelaksana hukum yang bisa pula mengalami
kesalahan yang oleh karena itu bisa dikoreksi bahkan bisa dipecat dari
jabatannya. Wajarlah suatu ketika Khalifah Umar menetapkan kebijakan
agar para wanita memperingan mahar yang mereka minta, bahkan yang sudah
mendapatkan mahar banyak dia minta kembalikan. Kebijakan ini diprotes
seorang wanita tua yang beragumen dengan firman Allah SWT:

"Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang
sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan
yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?" (QS. An-Nisaa' [4]: 20)

Nabi Muhammad saw. sebagai pun sebagai kepala negara yang melaksanakan
hukum Allah SWT, pernah ditegur dengan halus oleh Allah SWT tatkala
mengambil kebijakan yang tidak lebih baik (khilaful aula), sebagaimana
firman Allah:

"Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda
duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Anfaal [8]: 67).

Ada pertanyaan, bukankah dengan system khilafah yang kekuasaan berkumpul
di tangan seseorang memberikan peluang besar terjadinya kediktatoran?
Jawabannya tentu kembali kepada sejauhmana penerimaan dan penguasaan
umat Islam terhadap mafahim, maqayis, dan qona'ah Islam. Jika umat Islam
dalam kondisi memiliki pemikiran dan kesadaran yang tinggi terhadap
hukum syariah, maka umat akan dengan meudah mengontrol khalifah dengan
pengetahuan, pemahaman, standa, dan keyakinan yang mereka miliki.
Sebaliknya, jika terjadi kemunduran yang sangat, kediktatoran yang bukan
merupakan jiwa pemerintahan Islam pasti akan terjadi. Nabi Muhammad saw.
selalu berpesan kepada pejabat yang dikirmnya ke daerah dengan:

"Berilah mereka kabar gembira, dan janganlah kalian hardik, dan
mudahkanlah mereka janganlah kalian persulit".

Bahkan dalam kemunduran yang sangat, umat Islam telah rela melepaskan
penguasa, bukan hanya berubah dari pemelihara menjadi otoriter, dari
pemerintahan Islam kepada pemerintahan sekuler seperti yang terjadi pada
tahun 1924 di pusat Khilafah Utsmaniyah, Istambul.

Oleh karena itu, sudah saatnya, seluruh pejuang penegak syariah
menyingsingkn lengan bajunya untuk memberitahukan kepada seluruh kaum
muslimin tentang konsepsi negara Islam (khilafah ala minhajin nubuwwah)
yang merupakan negara asli milik kaum muslimin yang kini telah hilang
dan mesti ditemukan lagi. Wallahu muwaffiq ila aqwamit thariq!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar